Mahasiswa jurusan Hubungan International Universitas Cenderawasih Jayapura, Luis Pinehas Makuker. (TIFAPOS/Ist)
Oleh : Luis Pinehas Makuker
TIFAPOS.id Papua tanah yang kaya dengan sumber daya alam dan juga memiliki ciri khas budaya yang berbeda dan unik, kini menghadapi tantangan besar akibat arus masuk imigran dari luar wilayah.
Fenomena ini telah mengubah struktur sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat asil Papua serta menciptakan ketimpangan yang semakin nyata.
Kedatangan imigran, baik melalui program transmigrasi pemerintahan maupun perpindahan mandiri, telah menyebabkan perubahan demografis signifikan di beberapa kota, seperti Jayapura dan Sorong.
Populasi imigran mulai mendominasi sektor-sektor penting termasuk perdagangan dan pemerintahan lokal.
Hal ini, membuat pendukun asil Papua harus bersaing dalam sistem ekonomi yang tidak mereka kuasai, seringkali tanpa dukungan yang memadai.
Dampaknya sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari ketimpangan akses terhadap pendidikan, lapangan kerja, dan layanan kesehatan semakin tajam.
Imigran yang datang dengan modal dan jaringan yang lebih mapan lebih mudah berkembang.
Sementara, banyak orang asil Papua terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan keterbatasan akses.
Kondisi ini, diperparah dengan kebijakan pembangunan yang lebih fokus mengabaikan kampung-kampung yang dihuni oleh masyarakat adat.
Selain aspek ekonomi, ketimpangan ini juga menciptakan ketegangan sosial budaya lokal yang dulu menjadi kehidupan masyarakat Papua, mulai tergerus oleh budaya luar yang di bawah oleh para pendatang.
Bahasa daerah mulai ditinggalkan, upacara adat makin jarang digelar, dan hak atas tanah adat kerap tergadaikan oleh proyek pembangunan yang melibatkan pihak luar.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar untuk siapa yang pembangunanm dipapua sebenarnya?
Jika pola pembangunan dan arus imigrasi tidak diatur dengan adil, ketimpangan akan terus melebar, dan berpotensi memicu konflik horizontal yang merusak persatuan dan perdamaian di tanah Papua.
Sudah saatnya negara hadir bukan hanya sebagai penjaga stabilitas politik dan ekonomi, tetapi juga sebagai pelindung hak-hak masyarakat adat Papua.
Kebijakan afirmatif yang nyata dan berkelanjutan harus diberikan mulai dari pendidikan berbasis budaya lokal dan penguatan ekonomi komunitas, hingga perlindungan terhadap tanah adat.
Tanah Papua bukan hanya soal geografis, tapi identitas sejarah dan harga diri sebuah bangsa yang telah lama ditinggal.
Menjaga harmoni dengan alam, bila ketimpangan ini dibiarkan maka bukan hanya masyarakat asil Papua yang kehilangan haknya, tetapi Indonesia kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang adil dan beradab.
(Penulis adalah mahasiswa jurusan Hubungan International Universitas Cenderawasih Jayapura)






