Home / Opini / Remaja Indonesia: Anak bangsa atau anak Hallyu?

Remaja Indonesia: Anak bangsa atau anak Hallyu?

Infografis cover Korean Wave atau Hallyu. (TIFAPOS/Ist)

Oleh : Jofinqa. M. L. Samakori

TIFAPOS.id  Korean Wave atau Hallyu telah menjelma menjadi kekuatan budaya global yang menjangkau berbagai lapisan masyarakat, termasuk remaja Indonesia.

Lewat K-Pop, K-Drama, kuliner, hingga tren fashion dan kosmetik, budaya Korea merasuk ke dalam keseharian generasi muda.

Berdasarkan survei Jakpat (2023), sebanyak 62% responden berusia 15–24 tahun mengonsumsi konten Korea secara rutin, menandakan daya tarik kuat dari budaya ini di kalangan remaja Indonesia.

Daya Tarik yang Membentuk, Tapi Juga Mengikis

Kekuatan Korean Wave terletak pada kemampuannya membangun identitas global yang menarik. Namun, di balik pesonanya, terdapat risiko homogenisasi budaya.

Remaja yang terlalu larut dalam konsumsi budaya Korea cenderung meniru gaya hidup, standar kecantikan, hingga pola pikir yang belum tentu selaras dengan realitas sosial-budaya lokal.

Contohnya terlihat dalam tren TikTok, di mana remaja Indonesia ramai meniru gaya makeup ala idol K-Pop, OOTD bertema Korean look, hingga daily vlog berbahasa Korea campur Indonesia.

Identitas Lokal yang Terdesak

Koichi Iwabuchi (2002) menyebut fenomena ini sebagai “cultural odorlessness”, yaitu ketika budaya asing tampak netral dan universal, namun sebenarnya membawa nilai-nilai yang dapat mengikis identitas lokal.

Dalam konteks Indonesia, dominasi budaya Korea sering kali menyisihkan konten lokal dari ruang konsumsi media.

Akibatnya, generasi muda lebih mengenal aktor Korea daripada tokoh seni atau budaya dari negaranya sendiri. Tren TikTok seperti “get ready with me ala Korea” atau “seharian jadi cewek Korea” mencerminkan fenomena tersebut.

Perlu Kesadaran Budaya dan Literasi Kritis

Mengapresiasi budaya asing bukanlah kesalahan. Yang dibutuhkan adalah literasi budaya kemampuan untuk memahami, menyaring, dan mengkritisi konten yang dikonsumsi.

Peran sekolah, keluarga, media, dan pemerintah menjadi penting dalam membangun kesadaran tersebut.

Budaya lokal perlu diperkuat tidak hanya sebagai warisan, tetapi juga sebagai produk kreatif yang bisa bersaing secara global.

Menyambut Globalisasi, Mengakar pada Budaya Sendiri

Korean Wave adalah kenyataan zaman yang tak bisa dihindari. Namun, menghadapinya tidak harus dengan penolakan, melainkan dengan kesiapan.

Remaja Indonesia perlu didorong untuk menjadi subjek aktif dalam budaya-mengonsumsi dengan kritis, dan mencipta dari nilai-nilai lokal.

Dengan begitu, mereka tidak kehilangan jati diri di tengah arus global, melainkan mampu menunjukkan bahwa budaya lokal pun layak dikagumi dunia.

 

(Penulis adalah mahasiswa Jurusan Hubungan International Universitas Cenderawasih)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *