Home / Ragam Berita / Presentasi ODCB studi kelayakan bangunan kolonial di lingkungan Paldam XVII Cenderawasih

Presentasi ODCB studi kelayakan bangunan kolonial di lingkungan Paldam XVII Cenderawasih

Rumah bulat di Jayapura, sisa peninggalan Perang Dunia II. (Foto: Jubi)

TIFAPOS.id  Pemerintah Kota Jayapura melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan menggelar presentasi ODCB (objek diduga cagar budaya) studi kelayakan bangunan kolonial di lingkungan Paldam XVII Cenderawasih, Kota Jayapura, Papua.

Kegiatan tersebut menghadirkan perwakilan Paldam XVII Cenderawasih, Tim Ahli Cagar Budaya Kota Jayapura, guru sejarah, Pengawas Pendidikan, dan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXII Papua, bertempat di Grand Abe Hotel Jayapura, Jumat (16/5/2025).

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura, Grace L. Yoku, S.Pd., M.Pd, mengatakan Paldam XVII Cendrawasih memiliki lima bangunan Quonset (bangunan berbentuk rumah bulat) dalam kondisi cukup terawat yang masih digunakan sampai sekarang dan kondisinya cukup baik.

Ia juga mengatakan, fungsi bangunan Quonset di Paldam XVII/Cendrawasih ada tiga, yaitu aula atau gedung serbaguna yang di bagian tengahnya terdapat lapangan bulutangkis, gudang, dan bengkel.

Berdasarkan gambaran sejarang bangunan-bangunan yang ditinggalkan pasukan Angkatan Laut Amerika di Kota Jayapura, Quonset yang ada di Paldam merupakan peninggalan tentara Amerika.

Dugaan ini semakin kuat, lanjut Yoku, mengacu pada lokasi pembangunan terletak di lembah Hollandia atau sesuai dengan lokasi Paldam hari ini, di mana lima Pondok Quonset berada.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura, Grace L. Yoku, S.Pd., M.Pd. (TIFAPOS/La Ramah)

Ia juga mengatakan, wilayah Kloofkamp merupakan dataran sempit atau lembah yang membentang dari tepi teluk Pelabuhan Samudera Jayapura tempat bivak Hollandia dulu yang membentang sampai ke kaki Pegunungan Cycloop, dibangun berbagai fasilitas Rumah Sakit.

Selain itu, Kantor Perwakilan Kepala Staf (Quarter Master Depot), Diesel pembangkit tenaga listrik, pabrik es, pompa bensin, dan kolam renang.

“Bangunan Quonset tersebut dapat disebut sebagai Objek yang Diduga Cagar Budaya karena telah berusia lebih dari 50 tahun,” ujar Yoku.

Ia juga mengatakan, bangunan Quonset di Kota Jayapura memiliki sejarah khusus sebagai peninggalan militer Sekutu pada masa Perang Dunia II.

Bangunan rumah bulat ini, merupakan salah satu dari sejumlah bangunan peninggalan Sekutu yang masih ada di wilayah Kota Jayapura terutama di lingkungan Paldam XVII Cenderawasih.

Peninggalan ini menjadi saksi sejarah transformasi Kota Jayapura dari masa pendudukan Jepang hingga pembebasan oleh Sekutu pada tahun 1944, ketika Hollandia (nama lama Kota Jayapura) menjadi basis militer penting Sekutu di Pasifik Barat Daya.

Melalui presentasi ODCB studi kelayakan tersebut, dikatakan Yoku, untuk menilai kondisi fisik bangunan kolonial di lingkungan Paldam, menentukan kelayakan bangunan untuk dipertahankan, direnovasi, atau direvitalisasi.

Selain itu, agar memastikan bahwa pelestarian bangunan tidak mengganggu fungsi dan keamanan lingkungan sekitar, karena memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi.

Plt Sekda Kota Jayapura, Evert Nicholas Merauje, S.Sos., M.Si meresmikan kegiatan presentasi ODCB studi kelayakan bangunan kolonial di lingkungan Paldam XVII Cenderawasih. (TIFAPOS/La Ramah)

Adapun metode studi, yaitu survei fisik bangunan untuk menilai kerusakan dan kebutuhan perbaikan, analisis struktur dan bahan bangunan, kajian aspek legal dan peraturan terkait pelestarian bangunan bersejarah, dan konsultasi dengan ahli sejarah, arsitektur, dan konservasi bangunan.

Ia juga menjelaskan, hasil studi kelayakan berupa kondisi bangunan kolonial di Paldam menunjukkan tingkat keausan tertentu yang memerlukan perawatan khusus.

Bangunan memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi sehingga layak untuk dilestarikan, perlu adanya rencana pemeliharaan dan pengelolaan yang berkelanjutan agar bangunan tetap terjaga.

Bangunan kolonial di Paldam direkomendasikan agar secepatnya ditetapkan sebagai cagar budaya dan melakukan renovasi dengan metode konservasi yang sesuai standar pelestarian bangunan bersejarah.

Ia juga mengatakan, melibatkan masyarakat dan pemerintah lokal dalam upaya pelestarian dan menjadikan bangunan kolonial sebagai objek wisata edukatif untuk meningkatkan kesadaran sejarah dan budaya.

“Presentasi ODCB ini dapat disusun secara ringkas dengan fokus pada aspek teknis dan historis yang mendukung keputusan kelayakan pelestarian bangunan kolonial di lingkungan Paldam,” ujar Yoku.

Dikatakan Yoku, ODCB adalah benda, bangunan, struktur, situs, atau kawasan yang diduga memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, namun belum melalui proses penetapan resmi sebagai cagar budaya.

Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya presentasi ODCB berupa benda (misalnya arca, peralatan batu, fosil), bangunan, struktur, situs (tempat ditemukannya artefak), dan kawasan.

Kriteria penilaian usia minimal 50 tahun, mewakili masa gaya tertentu, memiliki arti khusus bagi sejarah dan kebudayaan, serta nilai budaya yang memperkuat kepribadian bangsa.

Selain itu, kegiatan awal pelestarian dengan mendata dan memetakan ODCB untuk kemudian diajukan penetapan dan pelestarian lebih lanjut.

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXII Papua menyampaikan materi dalam kegiatan resentasi ODCB studi kelayakan bangunan kolonial di lingkungan Paldam XVII Cenderawasih. (TIFAPOS/La Ramah)

Ia juga menjelaskan, tujuan presentasi agar memberikan pemahaman tentang konsep cagar budaya dan ODCB, serta mendorong pelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

Presentasi ini dibuat dalam bentuk laporan atau PowerPoint yang memuat data deskriptif dan visualisasi objek serta penjelasan nilai sejarah dan budaya yang melekat pada objek tersebut.

“Presentasi objek diduga cagar budaya adalah penyajian informasi lengkap mengenai benda atau situs yang berpotensi menjadi cagar budaya, sebagai langkah awal pendokumentasian dan pelestarian warisan budaya,” ujar Yoku.

Kesempatan tersebut, dikatakan Yoku, perbedaan utama antara cagar budaya dan ODCB adalah pada status penetapan dan pengelolaan pelestariannya.

Cagar Budaya adalah warisan budaya yang sudah melalui proses penetapan resmi oleh kepala daerah (Bupati/Wali Kota) atau Menteri sesuai Undang-Undang No. 11 Tahun 2010.

Setelah ditetapkan, cagar budaya memiliki perlindungan hukum yang kuat dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk menganggarkan dan mengelola pelestariannya secara jangka panjang.

Sementara, ODCB adalah benda, bangunan, atau situs yang masih dalam tahap pendataan, penelitian, dan pengkajian oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).

Status ODCB merupakan langkah awal sebelum penetapan resmi, dan meskipun belum ditetapkan, objek ini sudah mendapat perlindungan hukum untuk dilestarikan.

“ODCB adalah objek yang diduga memiliki nilai penting dan sedang dikaji, sedangkan cagar budaya adalah objek yang sudah resmi diakui dan dilindungi secara hukum serta dikelola untuk pelestarian jangka panjang,” ujar Yoku.

Presentasi ODCB studi kelayakan bangunan kolonial di lingkungan Paldam XVII Cenderawasih. (TIFAPOS/La Ramah)

Ketua TACB Kota Jayapura, Jean Hendrik Rollo, mengatakan proses penetapan sebuah objek sebagai cagar budaya melibatkan beberapa tahapan utama, yaitu pendaftaran, pengkajian, penetapan, dan pencatatan.

Dijelaskan Rollo, pendaftaran objek yang diduga cagar budaya didaftarkan ke pemerintah kabupaten/kota oleh pemilik, masyarakat, atau pihak lain tanpa biaya. Pendaftaran dapat dilakukan secara manual atau daring dan harus dilengkapi dengan deskripsi serta dokumentasi objek tersebut.

Setelah pendaftaran, Tim Ahli Cagar Budaya yang terdiri dari para ahli bersertifikat melakukan kajian untuk menilai kelayakan objek sebagai cagar budaya. Tim ini memberikan rekomendasi apakah objek layak ditetapkan sebagai cagar budaya atau tidak.

Berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya, Bupati atau Wali Kota wajib mengeluarkan keputusan penetapan status cagar budaya paling lambat 30 hari setelah menerima rekomendasi tersebut. Penetapan ini memberikan status resmi dan perlindungan hukum terhadap objek tersebut.

Setelah penetapan, objek dicatat dalam Register Nasional Cagar Budaya dan pemilik berhak memperoleh surat keterangan status dan kepemilikan. Pemerintah daerah juga wajib melaporkan hasil penetapan ke pemerintah provinsi dan pusat.

“Proses ini dimulai dari pendaftaran, dilanjutkan dengan kajian oleh Tim Ahli Cagar Budaya, kemudian penetapan resmi oleh kepala daerah, dan diakhiri dengan pencatatan dan perlindungan hukum terhadap objek yang telah ditetapkan,” ujar Jean.

Plt Sekda Kota Jayapura, Evert Nicholas Merauje, S.Sos., M.Si bersama kolega usai meresmikan kegiatan presentasi ODCB studi kelayakan bangunan kolonial di lingkungan Paldam XVII Cenderawasih. (TIFAPOS/La Ramah)

Ia juga mengatakan, setelah sebuah objek ditetapkan sebagai cagar budaya, langkah-langkah yang diambil yaitu pemilik cagar budaya berhak mendapatkan surat keterangan status cagar budaya dan surat keterangan kepemilikan berdasarkan bukti yang sah sebagai jaminan hukum.

Kemudian, objek dicatat secara resmi dalam register nasional untuk memastikan perlindungan dan pengelolaan yang terdata, dan objek harus dilindungi sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010, yang meliputi pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya secara berkelanjutan.

Jean menekankan, Pemerintah Kota Jayapura wajib menyampaikan hasil penetapan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat sebagai bagian dari sistem pelestarian nasional.

Hal itu, dilakukan untuk menentukan tingkat kepentingan cagar budaya (nasional, provinsi, atau kabupaten/kota) yang akan memengaruhi pengelolaan dan potensi pengusulan sebagai warisan budaya dunia dan memeliharanya agar kondisi cagar budaya tetap terjaga.

“Langkah-langkah ini untuk memastikan cagar budaya terlindungi secara hukum dan dikelola dengan baik untuk keberlanjutan nilai sejarah dan budayanya,” ujar Rollo.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura, Grace L. Yoku, S.Pd., M.Pd bersama kolega dalam kegiatan presentasi ODCB studi kelayakan bangunan kolonial di lingkungan Paldam XVII Cenderawasih. (TIFAPOS/La Ramah)

Plt Sekda Kota Jayapura, Evert Nicholas Merauje, S.Sos., M.Si mewakili Wali Kota Jayapura, Abisai Rollo, S.H., M.H, berharap melalui presentasi studi kelayakan bangunan kolonial Belanda dapat meningkatkan pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya tersebut sebagai bagian dari pengembangan kebudayaan dan pariwisata.

Ia juga berharap, bangunan kolonial ini tidak hanya dilindungi sebagai cagar budaya yang memperkaya kebudayaan nasional, tetapi juga dapat memberikan kontribusi pada kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan yang baik dan pemanfaatan yang berkelanjutan.

“Pemerintah daerah juga ingin mendorong peningkatan kunjungan masyarakat ke peninggalan sejarah tersebut sebagai bagian dari pengarusutamaan kebudayaan di pendidikan dan masyarakat luas,” ujar Merauje.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *