Ilustrasi. (TIFAPOS/Henokh Msen)
Oleh : Henokh Msen
TIFAPOS.id Laut Cina Selatan (LCS) merupakan kawasan strategis yang kaya akan sumber daya alam dan jalur pelayaran internasional.
Namun, klaim tumpang tindih oleh berbagai negara telah menjadikan wilayah ini sebagai pusat ketegangan geopolitik.
Klaim sepihak Tiongkok melalui “sembilan garis putus-putus” (nine-dash line) mencakup hampir 90% wilayah LCS, yang bertentangan dengan hukum laut internasional dan menimbulkan konflik dengan negara-negara ASEAN serta kekuatan global lainnya.
Klaim Tiongkok atas LCS didasarkan pada sejarah dan peta kuno, namun bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, yang menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut dari garis pantai.
Negara-negara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei juga memiliki klaim atas bagian-bagian LCS berdasarkan UNCLOS.
Putusan Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016 menyatakan bahwa klaim Tiongkok tidak memiliki dasar hukum, namun Tiongkok menolak putusan tersebut dan terus memperkuat kehadirannya di wilayah tersebut.
Kepentingan Geopolitik dan Ekonomi
LCS, memiliki cadangan minyak dan gas alam yang signifikan, dengan estimasi mencapai 213 miliar barel minyak dan 900 triliun kaki kubik gas alam.
Selain itu, sekitar sepertiga dari perdagangan maritim dunia melewati wilayah ini, menjadikannya vital bagi ekonomi global.
Kepulauan Spratly dan Paracel, yang kaya akan sumber daya dan strategis secara militer, menjadi fokus utama dalam sengketa ini.
Peran Indonesia
Meskipun Indonesia bukan pihak yang mengklaim wilayah di LCS, negara ini memiliki kepentingan dalam menjaga stabilitas kawasan, terutama terkait dengan ZEE di sekitar Kepulauan Natuna.
Indonesia telah mengambil langkah diplomatik dan militer untuk mempertahankan kedaulatannya, termasuk melalui latihan militer dan peningkatan kehadiran di wilayah tersebut.
Selain itu, Indonesia aktif dalam mendorong penyelesaian damai melalui ASEAN dan forum internasional lainnya.
Upaya Diplomasi dan Tantangannya
ASEAN dan Tiongkok telah berupaya menyusun Kode Etik (Code of Conduct) untuk mengatur perilaku di LCS, namun hingga kini belum mencapai kesepakatan yang mengikat.
Tiongkok terus melakukan pembangunan pulau buatan dan instalasi militer di wilayah yang disengketakan, meningkatkan ketegangan dengan negara-negara lain.
Indonesia sebagai negara dengan posisi strategis, berperan sebagai mediator dan promotor diplomasi preventif untuk mencegah eskalasi konflik
LCS merupakan panggung utama dalam drama geopolitik Asia Tenggara, dengan berbagai aktor yang memiliki kepentingan strategis dan ekonomi.
Perebutan “tahta biru” ini, mencerminkan kompleksitas hubungan internasional di kawasan, di mana hukum internasional, kekuatan militer, dan diplomasi saling berinteraksi.
Indonesia, meskipun bukan pengklaim utama, memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas dan mendorong penyelesaian damai melalui jalur diplomatik.
(Penulis adalah mahasiswa jurusan Hubungan International Universitas Cenderawasih Jayapura)






