Home / Ragam Berita / Penguatan deteksi dini konflik sosial berdimensi keagamaan

Penguatan deteksi dini konflik sosial berdimensi keagamaan

Kakankemenag Kota Jayapura, Hj. Ani Matdoan, S.Ag., M.M didampingi Kasi Bimas Islam, Hidayat HI Gani, S.Pd.I., M.Pd memimpin FGD bina paham keagamaan Islam dan penanganan konflik. (TIFAPOS/La Ramah)


KEMENTERIAN
Agama Kota Jayapura melalui Seksi Bimas Islam mengadakan Focus Grup Discussion (FGD) bina paham keagamaan Islam dan penanganan konflik.

Kegiatan yang dipimpin langsung Kakankemenag Kota Jayapura, Hj. Ani Matdoan, S.Ag., M.M dan Kasi Bimas Islam, Hidayat HI Gani, S.Pd.I., M.Pd berlangsung di aula Kantor Kemenag Kota Jayapura, Jumat, 22 Agustus 2025 perihal penguatan deteksi dini konflik sosial berdimensi keagamaan.

FGD ini menghadirkan Ketua KUA Se Kota Jayapura, Ketua Nadhlatul Ulama Kota Jayapura, Ketua Muhammadiyah Kota Jayapura, Ketua Badan Kontak Majelis Taklim Kota Jayapura, Ketua Badan Kontak Majelis Taklim Distrik Abepura, dan media massa.

Kakankemenag Kota Jayapura, Hj. Ani Matdoan, S.Ag., M.M mengatakan, pentingnya sistem deteksi dini yang dibangun secara kolaboratif untuk mengantisipasi potensi konflik sosial yang berlatar belakang keagamaan.

Selain itu, moderasi beragama sebagai pendekatan utama untuk menjaga harmoni kehidupan masyarakat yang majemuk dan keberagaman agama.

“Deteksi dini harus berdasarkan sinergi dan jejaring komunikasi lintas sektoral agar bisa menciptakan suasana damai dan inklusif,” ujar Kakankemenag.

Kakankemenag juga mengatakan, peran strategis generasi muda dan berbagai elemen masyarakat termasuk organisasi keagamaan dalam merawat nilai-nilai toleransi dan menjalin dialog antar pemangku kepentingan.

FGD ini juga berfungsi sebagai upaya preventif dengan memetakan potensi dan faktor penyebab konflik, guna mengembangkan strategi pencegahan yang efektif di tingkat lokal.

“Diharapkan adanya komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan tokoh agama untuk mengimplementasikan langkah-langkah pencegahan konflik sejak dini,” ujar Kakankemenag.

Diharapkan juga, melalui penguatan deteksi dini konflik sosial berdimensi keagamaan dapat membangun sistem peringatan dini yang tidak hanya berdasarkan formalitas tapi juga menyentuh sisi kehidupan masyarakat secara luas.

Penyuluh agama sebagai garda terdepan memiliki peran strategis sebagai aktor resolusi konflik yang harus selalu bersinergi dengan pemerintah, tokoh agama, tokoh lintas agama, organisasi keagamaan, dan tokoh masyarakat untuk menjaga kerukunan dan mencegah konflik sosial.

Pemetaan dan identifikasi dini terhadap paham, kelompok, mazhab, serta aliran keagamaan sebagai langkah preventif.

Mendorong sinergi antarkomponen masyarakat dalam membangun sistem peringatan dini berbasis nilai-nilai keagamaan.

Menyuarakan komitmen bersama untuk merawat kebersamaan dan meneguhkan moderasi beragama di tengah keberagaman.

“Pentingnya pemahaman dan praktik keagamaan yang inklusif dan sejuk sebagai fondasi kuat untuk menjaga kehidupan masyarakat yang damai,” ujar Kakankemenag.

Kakankemenag menambahkan, berdasarkan data Litbang Kemenag & Lakpesdam 2023, pada tahun 2019-2022 terdapat 86 kasus konflik berdimensi keagamaan, yakni antar agama 29 kasus dan intra agama 57 kasus.

Pemantik konflik antar agama, yaitu pemaksaan atribut 2 kasus, ekspresi keagamaan 11 kasus, konflik rumah ibadah 16 kasus.

Sementara konflik intra agama, yaitu pemaksaan atribut 1 kasus, ekspresi keagamaan 11 kasus, konflik rumah ibadah 15 kasus, penyesatan 30 kasus.

Kasi Bimas Islam, Hidayat HI Gani, S.Pd.I., M.Pd menegaskan bahwa penguatan deteksi dini konflik sosial keagamaan merupakan langkah strategis yang harus dilandasi oleh moderasi beragama.

Selain itu, melalui sinergi antar pemangku kepentingan, dan peran aktif semua elemen masyarakat demi menjaga kerukunan dan kebersamaan di tengah keragaman.

“Upaya ini menjadi langkah strategis dalam mencegah terjadinya konflik di masyarakat,” ujar Kasi Bimas Islam.

Kasi Bimas Islam juga mengingatkan bahwa konflik sosial berdimensi keagamaan seringkali muncul akibat pemahaman dan praktik keagamaan yang tidak inklusif.

Sehingga penguatan deteksi dini menjadi sangat penting untuk mengambil langkah preventif menjaga harmoni umat dan kehidupan masyarakat yang kondusif, aman, dan nyaman.

Kesempatan tersebut, peserta berkesempatan mengisi kuesioner. Kuesioner ini terdiri dari 4 formulir dan 6 bagian dengan total 80 butir pertanyaan.

Peserta diberikan waktu 60 menit untuk menyelesaikan kuesioner dan harus selesai diisi pada waktu pelaksanaan FGD.

 

(lrh)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *