Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Universitas Cenderawasih, Anjeni Asum. (TIFAPOS/Ist)
Oleh : Anjeni Asum
TIFAPOS.id Ketika kita berbicara tentang pembangunan dan masa depan ekonomi kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur, sangat jarang Papua muncul dalam perbincangan strategis tersebut.
Dalam imajinasi banyak orang, Papua lebih sering diasosiasikan dengan isu keterbelakangan, konflik sosial, atau persoalan hak asasi manusia.
Padahal, bila ditelaah lebih jauh, Papua justru menyimpan peluang besar yang belum digarap secara serius baik oleh pemerintah pusat maupun oleh negara-negara mitra di kawasan ASEAN dan Asia Timur.
Papua berada di lokasi yang sangat strategis. Secara geografis, wilayah ini terletak di antara Samudra Pasifik dan Benua Australia, menjadikannya salah satu titik kunci dalam jalur pelayaran internasional yang menghubungkan Asia Tenggara dengan negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan.
Seringkali kita terlalu fokus pada jalur barat Selat Malaka, Batam, atau pelabuhan di Jawa sementara jalur timur yang melintasi Laut Arafura dan Samudra Pasifik jarang masuk dalam diskusi utama soal logistik dan konektivitas.
Potensi Papua tidak hanya terletak pada letaknya yang strategis. Wilayah ini juga
kaya akan sumber daya alam. Kita tahu tambang Grasberg di Mimika merupakan
salah satu tambang emas dan tembaga terbesar di dunia.
Namun, kekayaan Papua tidak berhenti di situ. Energi panas bumi, air, angin, bahkan potensi tenaga surya di wilayah pesisir selatan memberikan kemungkinan pengembangan energi baru terbarukan yang bisa menopang kebutuhan energi regional di masa depan.
Ironisnya, sampai hari ini, sebagian besar sumber daya itu belum memberikan manfaat
signifikan bagi kesejahteraan masyarakat lokal.
Sebagai mahasiswa yang menaruh perhatian pada isu geopolitik dan ekonomi kawasan, saya merasa penting untuk mendorong perubahan cara pandang terhadap Papua.
Narasi lama yang terus-menerus memosisikan Papua sebagai ‘beban pembangunan’ harus digantikan dengan cara pandang baru: Papua sebagai aset strategis nasional dan regional.
Dalam ASEAN Plus Three yang melibatkan negara-negara Asia Tenggara bersama Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan Papua
sesungguhnya dapat menjadi simpul penting dalam rantai pasok bahan baku strategis.
Tidak berlebihan rasanya jika Papua disiapkan untuk menjadi zona industri berkelanjutan yang berorientasi pada ekspor ke kawasan Asia Timur.
Namun, tentu saja hal itu tidak bisa terjadi begitu saja. Masalah mendasar yang harus diatasi terlebih dahulu adalah ketimpangan infrastruktur.
Papua, dengan wilayahnya yang luas dan kontur geografis yang menantang, membutuhkan pendekatan pembangunan
yang berbeda dengan wilayah lain.
Jalan, pelabuhan, dan konektivitas digital harus menjadi prioritas. Selain itu, pelibatan masyarakat lokal juga menjadi kunci. Kita
tidak bisa hanya membangun fisik tanpa membangun kapasitas manusia.
Pemberdayaan masyarakat adat, pendidikan vokasional yang relevan dengan potensi
daerah, serta perlindungan hak atas tanah dan lingkungan harus berjalan beriringan.
Pemerintah pusat seharusnya bisa menjadikan Papua sebagai proyek percontohan pembangunan berkelanjutan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.
Di sisi lain, negara-negara mitra di kawasan seperti Jepang dan Korea Selatan yang selama ini dikenal sebagai pendukung pembangunan berkelanjutan dapat didorong untuk terlibat dalam investasi sosial dan teknologi hijau di Papua.
Kolaborasi seperti ini akan mengangkat posisi Papua bukan hanya dalam konteks nasional, tetapi juga dalam tatanan ekonomi regional.
Saya percaya bahwa masa depan ekonomi Indonesia di kawasan Asia Timur tidak hanya ditentukan oleh kemajuan kota-kota besar di Jawa atau Sumatra.
Justru daerah-daerah seperti Papua, yang selama ini luput dari perhatian strategis, memiliki peran penting yang belum dimaksimalkan.
Jika kita ingin membangun kawasan yang benar-benar inklusif dan tangguh, kita harus mulai melihat Papua bukan sebagai
pinggiran, melainkan sebagai salah satu pusat gravitasi baru dalam jaringan rantai
pasok regional.
Dalam beberapa tahun ke depan, isu ketahanan energi dan bahan baku
akan menjadi krusial, terutama di tengah perubahan iklim dan ketegangan geopolitik
global.
Papua, dengan kekayaan alam dan letaknya yang strategis, bisa menjadi penentu. Tapi itu hanya bisa terjadi jika ada perubahan paradigma.
Kita perlu berhenti memandang Papua hanya melalui kacamata masalah. Kita perlu mulai melihat Papua sebagai bagian dari solusi.
(Penulis adalah mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Universitas Cenderawasih)






