Home / Opini / Papua dan HIV/AIDS “membangun kesadaran dan aksi”

Papua dan HIV/AIDS “membangun kesadaran dan aksi”

Ilustrasi. (TIFAPOS/Novaria Rumaropen)

Oleh: Novaria Rumaropen

TIFAPOS.id Papua saat ini menghadapi krisis kesehatan yang serius, dengan meningkatnya kasus HIV/AIDS yang mengkhawatirkan karena meningkat setiap tahun nya.

Masalah HIV/AIDS di Papua bukan hanya sekedar isu kesehatan saja, tetapi juga mencerminkan kompleksitas dari tantangan sosial, ekonomi, juga budaya.

Salah satu wilayah yang ada di Indonesia dengan prevalensi HIV paling tinggi adalah Papua.

Hal ini menandakan bahwa penanggulangan atas HIV/AIDS haruslah lebih dari sekedar kampanye medis saja, ia haruslah meliputi pendidikan, stigma sosial, dan juga
pemberdayaan masyarakat.

Upaya penanggulangan terhambat besar oleh karena kurangnya akses informasi akurat, dan juga banyak wilayah di Papua yang masih terpencil.

Membuat penyebaran edukasi tentang HIV/ AIDS tidak merata dan minimnya layanan kesehatan terjangkau, serta kuatnya stigma terhadap ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).

Edukasi tentang pencegahan HIV tetap sangat terbatas terutama pada wilayah pedalaman, sehingga penularan dari ibu ke anak, penggunaan jarum suntik tidak steril, hingga hubungan seksual tanpa pengaman tetap tinggi.

Selain itu faktor budaya dan sosial turut memengaruhi, perilaku seksual beresiko, rendahnya penggunaan kondom, dan praktik adat tertentu yang belum diselaraskan dengan edukasi kesehatan modern menjadi penyumbang tinggi nya angka infeksi baru.

Ditambah lagi tingkat pendidikan yang masih rendah di banyak daerah menyulitkan pembangunan kesadaran kolektif tentang bahaya HIV/AIDS.

Kesadaran berbasis budaya lokal penting untuk dibangun serta tokoh adat, agama, juga pemuda perlu dilibatkan dalam penyuluhan.

Oleh karena itu, kesadaran dapat dibentuk.
Edukasi seksual tanpa penghakiman sangat dibutuhkan oleh siapa pun. Utamanya, hal
tersebut urgen pada remaja serta mesti kontekstual.

Pemerintah, LSM, serta komunitas lokal
harus menyinergikan layanan tes, pengobatan ARV, dan juga pendampingan psikososial berkelanjutan.

Aksi nyata juga mencakup pada perluasan akses kesehatan serta pada peningkatan kualitas layanan.

Selain daripada itu, aksi ini memberdayakan ekonomi ODHA supaya tidak
terpinggirkan.

Papua memerlukan suatu pendekatan berkelanjutan lagi menyeluruh guna mengembalikan martabat manusia di tengah ketidakadilan serta stigma, alih-alih hanya mengurangi angka infeksi.

Papua dapat menjadi contoh tentang bagaimana daerah terpencil pun mampu melawan HIV/AIDS dengan adanya komitmen bersama dan kekuatan solidaritas, melalui
pembangunan kesadaran yang inklusif serta aksi yang terkoordinasi.

Oleh karena itu, membangun kesadaran dan aksi nyata di Papua membutuhkan pendekatan yang holistik dan kontekstual.

Pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat layanan kesehatan di tingkat akar rumput, termasuk penyediaan VCT (Voluntary Counseling and Testing) dan ARV (Antiretroviral), serta tenaga medis yang memahami budaya lokal.

Dan, melakukan kampanye edukasi yang harus melibatkan tokoh agama, adat, dan pemuda untuk menghilangkan stigma serta menyampaikan pesan secara lebih diterima masyarakat.

Dan, penting untuk melibatkan ODHA dalam proses advokasi dan pendidikan. Mereka dapat menjadi agen perubahan yang mengedukasi masyarakat dengan pendekatan empati dan nyata.

Papua bukan hanya angka dalam statistik nasional HIV/AIDS, melainkan bagian dari bangsa yang harus mendapatkan perhatian khusus dan penuh empati.

Membangun kesadaran dan aksi di Papua bukan sekedar tugas kemanusiaan, tetapi komitmen untuk keadilan sosial dan kesehatan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

 

(Penulis adalah mahasiswa Jurusan Hubungan International Universitas Cenderawasih Jayapura)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *