Ilustrasi foto menggambarkan suasana di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di mana perwakilan Palestina menghadapi penolakan atau veto dari Amerika Serikat terkait keputusan penting yang menyangkut masa depan Palestina. Â (TIFAPOS/Daniel Fajar Waromi)
Oleh: Daniel Fajar Waromi
LEBIH dari 140 negara di dunia telah mengakui Palestina sebagai negara merdeka. Namun
hingga kini, Palestina belum juga diterima sebagai anggota penuh PBB.
Bukan karena tidak memenuhi syarat kenegaraan melainkan karena terjebak dalam struktur kekuasaan global yang timpang.
Pada 18 April 2024, rancangan resolusi keanggotaan penuh Palestina di Dewan Keamanan PBB kembali dijatuhkan oleh hak veto Amerika Serikat, meski mayoritas negara mendukung.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi 1 DPR RI, Taufiq R. Abdullah mengatakan, sistem voting dalam PBB sudah saatnya direformasi, karena 142 negara telah mengakui kemerdekaan Palestina namun negara besar bisa menggagalkan keputusan dunia.
Secara hukum internasional, Palestina telah memenuhi unsur Konvensi Montevideo 1933, yakni memiliki penduduk, wilayah, pemerintahan, dan kemampuan menjalin hubungan luar negeri.
Namun dalam kenyataannya, sistem internasional masih menerapkan pendekatan
konstitutif yakni negara dianggap “resmi” hanya bila diakui oleh komunitas global. Pengakuan kolektif itulah yang terhalang di PBB akibat hak veto.
Pengakuan terhadap Palestina oleh sejumlah negara Barat seperti Inggris, Kanada, Portugal, dan Prancis seharusnya menjadi tonggak penting dalam upaya internasionalisasi status
kenegaraan Palestina.
Namun, jika ditinjau dari struktur politik Dewan Keamanan PBB serta dominasi kepentingan politik Amerika Serikat khususnya melalui hak veto, pengakuan tersebut tidak memberikan implikasi signifikan terhadap peluang Palestina untuk memperoleh keanggotaan penuh di PBB.
Dari perspektif neo-realisme, sistem internasional bersifat anarkis dan kekuasaan menjadi determinan utama.
Negara-negara besar seperti Amerika Serikat bertindak rasional untuk mempertahankan kepentingannya, bukan menegakkan norma hukum.
Dalam konteks Palestina, hak veto menjadi alat geopolitik bagi negara-negara kuat untuk menjaga aliansinya di Timur Tengah, hal ini menunjukkan sebuah “rasionalitas kekuasaan” yang mengalahkan moralitas hukum internasional.
Realitas ini menunjukkan paradoks dunia modern. Palestina telah diakui, tetapi belum
dianggap setara. Selama hak veto tetap ada, hukum internasional akan terus berdiri di bawah bayang-bayang politik kekuasaan dan keadilan bagi Palestina akan tetap tertunda.
(Penulis adalah mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Universitas Cenderawasih)
(ldr)







