Home / Ragam Berita / Naita: Tradisi adat panen cacing laut di Kampung Kayo Batu yang sarat makna budaya dan spiritual

Naita: Tradisi adat panen cacing laut di Kampung Kayo Batu yang sarat makna budaya dan spiritual

Asisten III Bidang Administrasi Umum Setda Kota Jayapura Frederik Awarawi, SH., M.HUM didampingi Plt. Kepala Dinas Pariwisata Kota Jayapura Richard J. Nahumury, S.IP., M.Si serta Ondoafi dan Kepala Kampung Kayo Batu saat menyerahkan cacing laut kepada warga. (TIFAPOS/La Ramah)

 

Ringkasan Berita

• Naita adalah tradisi adat tahunan masyarakat nelayan Kampung Kayo Batu.

• Tradisi Naita diselenggarakan antara bulan Oktober dan November, sekali setahun.

• Identitas budaya Kampung Kayo Batu yang dilestarikan, bernilai ekonomis, kultural, dan spiritual.

 

NAITA (Ai Atu Tradisional Attraction) adalah tradisi adat tahunan masyarakat nelayan Kampung Kayo Batu di Kota Jayapura, Papua yang melibatkan kegiatan menimba atau mengambil cacing laut di Tanjung Swaja, yang dalam bahasa lokal disebut “laor” (Polychaeta).

Cacing laut ini hanya muncul saat bulan purnama dengan pasang tertinggi dan biasa ditemukan di daerah pantai berkarang.

Tradisi Naita digelar antara bulan Oktober dan November, tergantung posisi bulan purnama. Rowese atau pesuruh ondoafi Kampung Kayo Batu, Alex Pui menjelaskan bahwa pengambilan Naita hanya boleh dilakukan satu kali dalam setahun.

“Jika panen dilakukan di bulan Oktober, maka bulan November tidak diadakan, begitu juga sebaliknya,” ujar Pui di Kampung Kayo Batu, Selasa, 7 Oktober 2025.

Sebelum pengambilan Naita, terdapat ritual adat yang harus dijalankan dengan sangat ketat. Orang-orang yang akan menimba Naita terutama para pria, dilarang melakukan hubungan suami-istri selama kurang lebih tiga bulan sebelumnya.

Para perempuan dan laki-laki harus berpisah untuk menjaga kesucian. Selain itu, keluarga yang bermasalah, ibu yang sedang hamil, dan kondisi hati yang tidak bersih dianggap dapat mengganggu keberhasilan panen.

Pada prosesnya, para pria yang akan menimba Naita mempersiapkan peralatan seperti ember, serok yang disebut “lai-lai” atau “lae-lae”, dan alat penerangan.

Saat menimba, mereka juga melantunkan nyanyian dan sastra lisan khas Kayo Batu untuk memanggil cacing laut agar muncul.

Tradisi ini bukan hanya tentang pengambilan hasil laut, tetapi juga memiliki makna sosial dan spiritual yang kuat, sebagai wujud penghormatan kepada alam dan leluhur serta menjaga keharmonisan komunitas.

Hasil panen Naita dimasak dengan cara direbus dan dicampur dengan bumbu, sagu, kelapa menjadi sagu Naita, atau dibuat bakwan Naita sebagai hidangan khas.

Hal unik dari tradisi ini adalah larangan memegang cacing laut langsung dengan tangan. Naita dipegang dengan garpu untuk menjaga kesucian.

Selain itu, hasil panen akan dibagikan kepada keluarga yang tidak bisa ikut menimba agar semua masyarakat bisa merasakan manfaatnya.

Tradisi Naita menjadi salah satu identitas budaya masyarakat Kampung Kayo Batu yang terus dilestarikan hingga kini sebagai bagian dari warisan nenek moyang yang tidak hanya bernilai ekonomis tetapi juga kultural dan spiritual.

Naita juga diikuti oleh Kampung Kayo Pulo serta kerabat kampung adat lain di sekitar Teluk Humbolt (Port Numbay), seperti Kampung Enggros, Kampung Tobati, dan Kampung Kayo Pulau.

Asisten III Bidang Administrasi Umum Setda Kota Jayapura Frederik Awarawi, SH., M.HUM mewakili Wali Kota Jayapura, Abisai Rollo, S.H., M.H berharap tradisi adat Naita dapat terjaga dan berperan aktif dalam pembangunan serta pembinaan masyarakat adat.

Pemerintah Kota Jayapura menginginkan sinergi antara pengurus kampung adat dengan pemerintah dalam menjaga adat, keamanan, dan keberlanjutan program pembangunan di daerah.

Diharapkan juga tradisi adat terus diwariskan dengan baik kepada generasi muda agar menumbuhkan semangat cinta tanah air dan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan Kota Jayapura khususnya di sektor pariwisata.

 

(ldr)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *