Home / Opini / Menjaga warisan budaya: Tantangan dan peluang perlindungan tanah adat Papua

Menjaga warisan budaya: Tantangan dan peluang perlindungan tanah adat Papua

Mahasiswa mata kuliah Hukum dan Regulasi Bisnis Jurusan Akuntansi FEB Uncen saat praktik. (TIFAPOS/Ist)

Oleh: Asmiranda, Dina Ijei, Faiz Abdurrahman, Erali Wandik, Yane Krey.

 

TIFAPOS.id – Wilayah Jayapura, Papua, dikenal sebagai kawasan yang kaya akan nilai-nilai adat dan kearifan lokal yang telah bertahan selama berabad-abad.

Tanah adat di Jayapura tidak hanya berfungsi sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat setempat, tetapi juga sebagai simbol identitas dan warisan budaya yang tak ternilai.

Dalam konteks ini, perlindungan tanah adat menjadi isu yang sangat penting, terutama dengan meningkatnya tekanan dari regulasi pemerintah dan berbagai kepentingan lain yang dapat mengancam hak-hak masyarakat lokal.

Sejak tahun 2020 hingga 2024, dinamika perlindungan tanah adat di Jayapura semakin kompleks, dipicu oleh konflik kepentingan antara kepentingan pemerintah dan masyarakat adat.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam sistem perlindungan tanah adat di wilayah ini, dengan memfokuskan pada permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dalam mempertahankan hak-hak mereka atas tanah.

Analisis ini akan menggabungkan data yang diperoleh dari observasi lapangan, data sekunder, serta wawancara langsung dengan tokoh adat setempat, untuk memberikan gambaran yang komprehensif mengenai tantangan dan solusi dalam perlindungan tanah adat di Jayapura.

Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Tanah Adat

Hukum adat di Papua, khususnya di wilayah Jayapura, memainkan peran yang sangat penting dalam mengatur pengelolaan tanah adat.

Hukum adat yang berlaku di Papua didasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma yang diwariskan turun-temurun, yang mencakup aturan tentang kepemilikan, penggunaan, serta pengaturan hubungan sosial dan ekonomi masyarakat adat terhadap tanah mereka.

Secara tradisional, masyarakat adat Papua mengelola tanah adat berdasarkan prinsip kolektivitas dan kesetaraan.

Hak atas tanah tidak dipandang sebagai hak individu, tetapi sebagai hak bersama yang diwariskan oleh leluhur dan harus dikelola untuk kepentingan komunitas.

Tanah dianggap sebagai entitas yang hidup, yang memiliki hubungan spiritual dan budaya yang kuat dengan masyarakat adat.

Oleh karena itu, tanah adat di Papua memiliki fungsi yang jauh lebih luas daripada sekadar sebagai sumber daya alam, melainkan juga sebagai pusat dari kebudayaan, identitas, dan ritual masyarakat adat.

Hukum adat di Papua juga mengatur bagaimana proses pewarisan tanah dilakukan, bagaimana sengketa tanah diselesaikan, dan bagaimana tanah dijaga agar tidak disalahgunakan.

Dalam sistem hukum adat ini, tokoh adat atau kepala suku memiliki peran sentral dalam pengambilan keputusan mengenai tanah adat, termasuk menyelesaikan sengketa antar anggota masyarakat adat atau dengan pihak luar.

Regulasi Pemerintah yang Mengatur Tanah Adat

Di sisi lain, regulasi pemerintah Indonesia terkait tanah adat berupaya memberikan pengakuan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat, meskipun sering kali kebijakan dan regulasi ini tidak sepenuhnya selaras dengan hukum adat yang berlaku di masyarakat setempat.

Beberapa regulasi pemerintah yang relevan dalam konteks pengelolaan dan perlindungan tanah adat di Papua antara lain:

– Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Otsus)
Undang-Undang ini memberikan ruang untuk masyarakat adat di Papua untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam, termasuk tanah adat.

Dalam pasal-pasal tertentu, UU Otsus memberikan hak kepada masyarakat adat untuk mengelola tanah mereka sesuai dengan kearifan lokal dan tradisi mereka.

Namun, implementasi dari undang-undang ini masih terbatas dan sering terhambat oleh konflik antara kebijakan pemerintah pusat dan kepentingan pembangunan ekonomi.

– Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA merupakan dasar hukum yang mengatur pengelolaan tanah di Indonesia.

Namun, UUPA juga menyebutkan bahwa hak atas tanah negara adalah hak yang paling utama. Hal ini sering bertentangan dengan konsep hukum adat yang lebih mengutamakan hak kolektif atas tanah.

Implementasi UUPA yang lebih mengutamakan pemilikan hak negara sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang telah lama mengelola tanah mereka berdasarkan tradisi.

– Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini mengatur tentang pendaftaran tanah secara resmi, yang menjadi salah satu instrumen legalisasi status kepemilikan tanah.

Namun, peraturan ini sering menjadi kendala bagi masyarakat adat yang tidak memiliki bukti kepemilikan formal atas tanah mereka, karena tanah adat dikelola berdasarkan kesepakatan adat dan tidak selalu terdaftar dalam sistem administrasi pertanahan yang formal.

– Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat. Peraturan ini mengakui pentingnya pengakuan hak atas tanah bagi masyarakat adat.

Namun, dalam praktiknya, peraturan ini sering mengalami kesulitan dalam implementasinya, terutama dalam hal pengakuan hak atas tanah adat yang sudah dikelola secara turun-temurun namun tidak terdaftar secara resmi.

Ketegangan antara Hukum Adat dan Regulasi Pemerintah

Ketegangan utama yang muncul antara hukum adat dan regulasi pemerintah sering kali berkaitan dengan perbedaan prinsip dasar yang mengatur hak atas tanah.

Di satu sisi, hukum adat mengutamakan hak kolektif masyarakat adat untuk mengelola tanah mereka berdasarkan tradisi, sementara di sisi lain, regulasi pemerintah lebih mengutamakan pengakuan individu atau badan hukum dalam sistem administrasi pertanahan.

Ketidakselarasan ini muncul dalam beberapa bentuk, seperti:
– Kekurangan Pengakuan terhadap Tanah Adat: Meskipun hukum adat sudah mengatur dengan jelas tentang hak atas tanah adat, tanah tersebut sering kali tidak tercatat dalam sistem pertanahan formal.

Akibatnya, masyarakat adat sering kali kehilangan hak atas tanah mereka karena kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan penggunaan lahan untuk pembangunan dan investasi.

– Sengketa Tanah dan Klaim Kepemilikan: Tanah adat yang tidak terdaftar dalam sistem hukum negara sering kali menjadi objek sengketa antara masyarakat adat dengan pihak lain, baik itu perusahaan, individu, atau bahkan pemerintah.

Klaim atas tanah oleh pihak luar sering kali terjadi karena mereka memiliki dokumen atau bukti legal yang diakui negara, sementara masyarakat adat tidak memiliki bukti hukum yang sah.

– Pembangunan Infrastruktur dan Ekspansi: Perusahaan Pembangunan infrastruktur atau kegiatan ekonomi lainnya yang dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan sering mengabaikan hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka.

Bahkan dengan adanya regulasi yang memberikan hak kepada masyarakat adat, sering kali keputusan pembangunan tetap dilakukan tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat adat.

Tantangan Implementasi Regulasi yang Pro-Masyarakat Adat

Meskipun terdapat regulasi yang mendukung perlindungan hak tanah adat, tantangan terbesar terletak pada implementasi kebijakan tersebut.

Kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta minimnya pemahaman mengenai pentingnya pengakuan hak-hak masyarakat adat, sering kali memperburuk situasi.

Selain itu, sistem peradilan yang lambat dan sulit diakses oleh masyarakat adat juga memperburuk perlindungan hukum terhadap tanah adat. Regulasi yang ada sering kali tidak disertai dengan mekanisme pelaksanaan yang efektif.

Selain itu, ketidakjelasan dalam penerapan hak masyarakat adat atas tanah mereka dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia menyebabkan ketidakpastian yang memengaruhi stabilitas dan kelangsungan hidup masyarakat adat di Jayapura dan Papua secara umum.

Solusi dan Rekomendasi

Untuk mengatasi ketegangan antara hukum adat dan regulasi pemerintah, beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
– Perlunya Pengakuan Formal Terhadap Tanah Adat: Pemerintah perlu memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk melakukan pengakuan hukum atas tanah mereka melalui sistem pendaftaran tanah yang lebih fleksibel, yang menghargai keberagaman sistem hukum adat.

– Peningkatan Dialog antara Pemerintah dan Masyarakat Adat: Meningkatkan dialog antara pemerintah dan tokoh adat dalam pengambilan keputusan mengenai penggunaan tanah adat akan membantu mencegah konflik.

Pemerintah perlu melibatkan masyarakat adat sejak awal dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang menyangkut tanah adat.

– Reformasi Kebijakan yang Lebih Inklusif
Kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis pada hak asasi manusia serta kearifan lokal dapat memastikan bahwa pembangunan tidak mengorbankan hak-hak masyarakat adat.

Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif masyarakat adat dalam perumusan kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Dengan demikian, penting untuk memastikan bahwa regulasi pemerintah sejalan dengan prinsip-prinsip hukum adat, sehingga hak atas tanah adat dapat dihormati dan dilindungi secara efektif.

Kesimpulan

Perlindungan tanah adat di Jayapura menghadapi tantangan besar akibat ketegangan antara hukum adat yang mengatur hak kolektif masyarakat adat atas tanah dan regulasi pemerintah yang lebih mengutamakan pengakuan individu atau badan hukum dalam sistem administrasi pertanahan.

Hukum adat di Papua memiliki nilai budaya, sosial, dan spiritual yang mendalam, mengatur pengelolaan tanah secara turun-temurun berdasarkan kearifan lokal.

Namun, regulasi pemerintah seperti Undang-Undang Otsus dan UUPA seringkali tidak sepenuhnya mengakomodasi sistem hukum adat, yang mengarah pada ketidakjelasan hak atas tanah adat yang dikelola masyarakat adat.

Ketidakselarasan ini menyebabkan kesulitan bagi masyarakat adat dalam memperoleh pengakuan hukum yang sah atas tanah mereka.

Banyak tanah adat yang tidak terdaftar dalam sistem pertanahan formal, sehingga rentan terhadap klaim pihak luar, termasuk perusahaan dan pemerintah, yang dapat menguasai tanah tersebut tanpa melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan.

Selain itu, implementasi regulasi yang ada masih kurang efektif, menyebabkan ketidakpastian dan konflik mengenai hak kepemilikan tanah adat.

Oleh karena itu, untuk memastikan perlindungan tanah adat yang lebih baik, diperlukan langkah-langkah seperti pengakuan formal terhadap hak tanah adat melalui sistem pendaftaran yang lebih fleksibel, peningkatan dialog antara pemerintah dan masyarakat adat, serta reformasi kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis pada hak-hak masyarakat adat.

Dengan demikian, regulasi pemerintah harus dapat selaras dengan prinsip-prinsip hukum adat, sehingga hak-hak masyarakat adat dapat dihormati dan dilindungi secara efektif dalam pembangunan yang berkelanjutan dan adil.

 

(Penulis merupakan mahasiswa Universitas Cenderawasih Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akuntansi)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *