Home / Opini / Menjaga stabilitas di Selat Taiwan: Mencari jalan tengah dalam ketegangan China-Taiwan

Menjaga stabilitas di Selat Taiwan: Mencari jalan tengah dalam ketegangan China-Taiwan

Ilustrasi. (TIFAPOS/Samuel Sion Kambuaya)

Oleh : Samuel Sion Kambuaya

TIFAPOS.id Selat Taiwan, sebuah perairan strategis yang memisahkan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di daratan Tiongkok dengan Taiwan (Republik Tiongkok/ROC), merupakan salah satu titik panas geopolitik paling signifikan di dunia saat ini.

Lebih dari sekadar jalur pelayaran vital bagi perdagangan global, Selat Taiwan menyimpan akar sejarah perselisihan yang mendalam dan kompleks antara Beijing dan Taipei.

Ketegangan yang membara di kawasan ini bukan hanya menjadi perhatian regional, tetapi juga memiliki implikasi luas bagi perdamaian dan kemakmuran global, mengingat posisi sentral Taiwan dalam rantai pasokan teknologi global, terutama semikonduktor.

Perkembangan terkini, termasuk peningkatan aktivitas militer RRT di sekitar pulau Taiwan dan respons internasional yang beragam, semakin meningkatkan kekhawatiran akan potensi terjadinya konflik yang tidak diinginkan.

Oleh karena itu, menjaga stabilitas di Selat Taiwan menjadi imperatif yang mendesak bagi semua pihak yang berkepentingan.

Opini ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif tantangan-tantangan yang mengancam stabilitas di Selat Taiwan, menelusuri akar permasalahan dan dinamika ketegangan yang ada.

Lebih lanjut, opini ini akan mengeksplorasi berbagai potensi jalan tengah dan pendekatan yang mungkin untuk meredakan konflik dan mendorong dialog konstruktif antara RRT dan Taiwan.

Pertanyaan utama yang akan dijawab adalah Bagaimana cara menjaga stabilitas di Selat Taiwan di tengah meningkatnya ketegangan? Apa saja jalan tengah yang mungkin untuk meredakan konflik dan mendorong dialog yang konstruktif?

Tujuan dari penulisan opini ini adalah untuk memberikan perspektif yang mendalam mengenai isu krusial ini, dan menawarkan pemikiran mengenai potensi solusi atau jalan tengah yang dapat dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan, akademisi, dan masyarakat luas yang peduli terhadap isu geopolitik global.

Signifikansi opini ini, terletak pada urgensinya dalam konteks situasi yang semakin memanas, di mana pemahaman yang mendalam dan pencarian solusi yang bijaksana menjadi semakin penting untuk mencegah eskalasi konflik dan mempromosikan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik.

Akar Permasalahan dan Dinamika Ketegangan

Akar permasalahan di Selat Taiwan berakar jauh dalam sejarah Tiongkok modern, terutama pasca Perang Saudara Tiongkok (1927-1949).

Kemenangan Partai Komunis Tiongkok (PKT) di daratan Tiongkok memaksa pemerintah Republik Tiongkok (yang dipimpin oleh Partai Kuomintang) untuk mundur ke pulau Taiwan.

Sejak saat itu, meskipun terpisah secara geografis dan politik, RRT di Beijing mengklaim Taiwan sebagai provinsi yang memberontak dan suatu saat harus dipersatukan kembali, bahkan dengan kekerasan jika diperlukan.

Di sisi lain, Taiwan, yang secara de facto memerintah sendiri dengan sistem demokrasi yang matang, melihat dirinya sebagai entitas politik yang terpisah dan berdaulat, meskipun belum secara luas diakui oleh komunitas internasional.

Kebijakan “Satu Tiongkok” (One China Policy) menjadi landasan bagi hubungan RRT dengan banyak negara di dunia.

Kebijakan ini mengakui posisi RRT bahwa hanya ada satu negara berdaulat dengan nama “Tiongkok,” meskipun interpretasi mengenai implikasi kebijakan ini terhadap status Taiwan bervariasi di antara berbagai negara.

Status quo yang berlaku selama beberapa dekade, di mana kedua belah pihak menahan diri dari tindakan provokatif yang signifikan, mulai tergerogoti oleh berbagai faktor.

Peningkatan kekuatan ekonomi dan militer RRT di bawah kepemimpinan Xi Jinping telah membawa pada pendekatan yang lebih tegas terhadap isu Taiwan, termasuk seringnya unjuk kekuatan militer di dekat wilayah udara dan perairan Taiwan (Bush, 2017).

Beberapa faktor pemicu ketegangan saat ini meliputi peningkatan aktivitas militer RRT, seperti penerbangan pesawat tempur ke zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) Taiwan dan latihan militer skala besar di dekat pulau tersebut.

Respons Taiwan terhadap tekanan ini adalah dengan memperkuat kemampuan pertahanannya, termasuk modernisasi militer dan upaya untuk memperdalam hubungan dengan negara-negara yang memiliki pandangan serupa, terutama Amerika Serikat (Hsu, 2023).

Peran dan kebijakan negara-negara eksternal, khususnya Amerika Serikat, yang mempertahankan kebijakan “ambiguitas strategis” sambil meningkatkan dukungan militer dan diplomatik kepada Taiwan, semakin memperumit situasi.

Dinamika politik internal di RRT, di mana isu reunifikasi seringkali digunakan untuk memperkuat legitimasi partai, dan di Taiwan, di mana identitas nasional yang terpisah semakin menguat, juga berkontribusi pada meningkatnya ketegangan lintas selat.

Selain itu, isu-isu ekonomi dan teknologi, seperti dominasi Taiwan dalam produksi semikonduktor canggih, menambah dimensi strategis dan ekonomi pada konflik potensial.

Dampak Potensial Konflik dan Urgensi Stabilitas

Konflik di Selat Taiwan akan membawa dampak geopolitik yang dahsyat, tidak hanya bagi kawasan Asia-Pasifik tetapi juga bagi tatanan internasional secara keseluruhan.

Gangguan terhadap status quo dapat memicu pembentukan aliansi baru dan memperdalam persaingan antara kekuatan-kekuatan besar dunia (Christensen, 2021).

Keamanan di kawasan Asia-Pasifik akan terancam, berpotensi menyeret negara-negara tetangga ke dalam pusaran konflik.

Hubungan antar negara besar, terutama antara Amerika Serikat dan Tiongkok, akan semakin tegang, dengan implikasi yang luas bagi kerja sama global dalam berbagai isu, mulai dari perubahan iklim hingga kesehatan global.

Dari sudut pandang ekonomi, konflik di Selat Taiwan akan menjadi bencana global.

Taiwan memegang peran krusial dalam rantai pasokan teknologi global, terutama dalam produksi semikonduktor canggih yang vital bagi berbagai industri, mulai dari otomotif hingga elektronik konsumen.

Gangguan terhadap produksi dan perdagangan di kawasan ini akan memicu krisis ekonomi regional dan global yang parah.

Investasi akan menurun drastis, pertumbuhan ekonomi akan terhenti, dan rantai pasokan global akan mengalami disrupsi yang berkepanjangan.

Dampak kemanusiaan dari potensi konflik juga tidak dapat diabaikan. Konfrontasi militer akan menyebabkan hilangnya nyawa dalam skala besar, baik dari pihak militer maupun warga sipil.

Krisis pengungsi akan menjadi masalah serius, dengan jutaan orang berpotensi mengungsi akibat pertempuran. Infrastruktur akan hancur, dan masalah kemanusiaan lainnya, seperti kekurangan pangan dan sanitasi, akan menjadi tantangan besar.

Mengingat dampak yang begitu merusak, menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan adalah kepentingan bersama seluruh dunia.

Kegagalan dalam menjaga stabilitas tidak hanya akan membawa malapetaka bagi RRT dan Taiwan, tetapi juga akan mengguncang fondasi tatanan internasional dan kemakmuran global (Goldstein, 2019).

Oleh karena itu, upaya untuk mencegah eskalasi konflik dan mencari solusi damai harus menjadi prioritas utama bagi semua pihak yang berkepentingan.

Mencari Jalan Tengah: Potensi Solusi dan Pendekatan

Menghadapi kompleksitas dan sensitivitas isu Selat Taiwan, mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh semua pihak adalah tantangan besar namun krusial (Bush, 2005).

Potensi solusi dan pendekatan yang dapat dipertimbangkan melalui diplomasi dan dialog, yaitu membuka dan mempertahankan saluran komunikasi yang efektif antara RRT dan Taiwan adalah langkah pertama yang esensial.

Dialog tanpa prasyarat mengenai berbagai isu, mulai dari keamanan hingga ekonomi dan budaya, dapat membantu membangun pemahaman dan mengurangi kesalahpahaman.

Pihak ketiga, seperti negara-negara sahabat yang memiliki hubungan baik dengan kedua belah pihak atau organisasi internasional yang netral, dapat memainkan peran penting dalam memfasilitasi dialog dan mediasi.

Langkah-langkah konkret untuk membangun kepercayaan, seperti pertukaran budaya atau program kerja sama non-politik, juga dapat membantu menciptakan atmosfer yang lebih kondusif untuk negosiasi yang lebih substansial di masa depan.

Pendekatan ekonomi dan kerja sama, yaitu mendorong kerja sama ekonomi lintas selat yang saling menguntungkan dapat menciptakan insentif yang kuat untuk menjaga stabilitas.

Fokus pada isu-isu non-politik seperti perlindungan lingkungan, kerja sama di bidang kesehatan, dan pertukaran budaya dapat membangun jembatan komunikasi dan pemahaman yang lebih baik di antara masyarakat kedua belah pihak.

Memanfaatkan saling ketergantungan ekonomi, terutama dalam sektor-sektor krusial seperti teknologi, dapat menjadi faktor penstabil yang signifikan.

Peran hukum internasional dan norma, dengan menegakkan prinsip-prinsip hukum internasional, termasuk penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial, serta penyelesaian sengketa secara damai, harus menjadi landasan dalam mencari solusi.

Membangun norma-norma regional yang kuat untuk mencegah eskalasi konflik dan mempromosikan dialog damai juga sangat penting.

Keseimbangan kekuatan dan pencegahan, dengan menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan, meskipun sensitif, dapat berperan dalam mencegah tindakan sepihak dan agresi (Acton, 2020).

Diplomasi pertahanan dan langkah-langkah membangun kepercayaan di bidang militer, seperti mekanisme komunikasi krisis dan pemberitahuan dini tentang aktivitas militer, dapat membantu mengurangi risiko miskalkulasi dan eskalasi yang tidak disengaja.

Mencegah provokasi dan retorika yang memperkeruh suasana juga merupakan bagian penting dari upaya menjaga stabilitas.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Stabilitas di Selat Taiwan adalah isu krusial dengan implikasi global yang luas. Akar permasalahan yang mendalam dan dinamika ketegangan yang kompleks memerlukan pendekatan yang hati-hati dan komprehensif (Swaine, 2020).

Potensi dampak konflik yang menghancurkan menegaskan urgensi untuk mencari jalan tengah yang damai dan berkelanjutan.

Berdasarkan analisis di atas, rekomendasi konkret dapat diajukan kepada berbagai pihak yang berkepentingan, seperti Republik Rakyat Tiongkok, dengan menahan diri dari tindakan militer yang provokatif dan kembali fokus pada dialog konstruktif dengan Taiwan tanpa prasyarat.

Menghormati aspirasi rakyat Taiwan dan mencari solusi yang mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak.

Kepada Taiwan, untuk terus memperkuat kapasitas pertahanan diri sambil tetap terbuka terhadap peluang dialog dan negosiasi dengan Beijing. Memperdalam hubungan dengan negara-negara yang mendukung perdamaian dan stabilitas di kawasan.

Negara-negara lain (terutama Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan), yaitu mendorong dan memfasilitasi dialog antara Beijing dan Taipei.

Mempertahankan kebijakan yang jelas dan konsisten yang mendukung stabilitas dan mencegah tindakan sepihak. Meningkatkan kerja sama ekonomi dan diplomatik dengan kedua belah pihak.

Organisasi Internasional, yaitu memainkan peran mediasi dan fasilitasi dialog. Menegakkan prinsip-prinsip hukum internasional dan norma-norma perdamaian dalam menyelesaikan sengketa.

Pada akhirnya, menjaga stabilitas di Selat Taiwan membutuhkan kemauan politik, fleksibilitas, dan komitmen dari semua pihak untuk mencari solusi damai.

Dengan mengedepankan diplomasi, kerja sama, dan penghormatan terhadap kepentingan semua pihak, diharapkan perdamaian dan stabilitas di kawasan ini dapat terwujud demi kepentingan bersama umat manusia.

 

 

(Penulis adalah mahasiswa jurusan Hubungan International Universitas Cenderawasih Jayapura)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *