Home / Opini / Diplomasi di balik tirai: APT dan perang dingin baru di Asia

Diplomasi di balik tirai: APT dan perang dingin baru di Asia

Ilustrasi. (TIFAPOS/Victory Fridolin Jafet Wambraw)

Oleh : Victory Fridolin Jafet Wambraw

TIFAPOS.id Kerja sama ASEAN Plus Three (APT) yang melibatkan ASEAN, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan berawal dari upaya membangun ketahanan kawasan pasca krisis moneter Asia 1997-1998.

Namun, realitas geopolitik hari ini telah memberi dimensi baru pada kerja sama ini.

Persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, meningkatnya tensi di Laut Tiongkok Selatan, dan ketidakpastian tatanan global pasca-pandemi telah mendorong APT ke garis depan diplomasi regional.

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan kritis: apakah APT dapat menjadi peredam Perang Dingin Baru di Asia?

APT dan Manuver Diplomasi Kawasan: Antara Stabilitas, Keseimbangan, dan Ketergantungan

Sejak awal, APT dibentuk untuk memperkuat ketahanan ekonomi regional melalui kerja sama keuangan, seperti Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM) dan ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) (International Monetary Fund, 2015).

Namun seiring waktu, peran APT berkembang melampaui aspek ekonomi menuju isu strategis dan keamanan.

Kawasan Asia Timur saat ini menjadi arena kompetisi kekuatan besar, khususnya antara Tiongkok dan Amerika Serikat.

Dalam situasi seperti ini, APT berperan sebagai ruang diplomasi yang “tersembunyi di balik tirai,” di mana negosiasi dan keseimbangan kekuatan dijalankan dalam format multilateral yang halus.

ASEAN sendiri memainkan peran penting melalui prinsip “sentralitas ASEAN,” yang berfungsi menjaga agar APT tidak diseret sepenuhnya ke dalam orbit salah satu kekuatan besar (UNCTAD, 2017).

Strategi diplomasi segitiga yang digunakan ASEAN mengingatkan pada teori klasik Kissinger, dengan memanfaatkan rivalitas dua kekuatan besar untuk menjaga otonomi kawasan.

Dalam APT, ASEAN menyeimbangkan pengaruh ekonomi Tiongkok, diplomasi konservatif Jepang, dan pendekatan teknologi Korea Selatan sembari menavigasi tekanan dari Amerika Serikat yang tidak termasuk dalam mekanisme ini.

Namun, kerja sama ini juga menghadapi tantangan internal, kesenjangan ekonomi antar anggota ASEAN, ketimpangan dalam kapasitas negosiasi, dan dominasi ekonomi Tiongkok dalam skema investasi kawasan (University of Malaya Law Review, 2023).

Di sisi lain, Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN, mendorong agar APT tidak hanya menjadi forum simbolik, tetapi juga instrumen nyata untuk menyelesaikan konflik kawasan dan memperkuat integrasi (AP News, 2023).

Dalam dinamika ini, APT berada di persimpangan antara menjadi koalisi strategis kawasan atau hanya forum retorika diplomatik.

Bila berhasil memperkuat kerja sama lintas sektor secara setara, APT dapat berkontribusi meredam ketegangan geopolitik.

Namun jika gagal menjawab ketimpangan internal dan eksternal, ia justru berisiko menjadi alat dominasi satu pihak dalam balutan kerja sama multilateral.

APT sebagai Penentu Masa Depan Diplomasi Asia Timur

APT memainkan peran vital dalam membentuk arsitektur keamanan dan ekonomi Asia Timur. Dalam konteks Perang Dingin Baru, diplomasi APT menjadi medan manuver bagi negara-negara kawasan untuk menjaga stabilitas dan mencegah fragmentasi.

Namun keberhasilan ini bergantung pada kemampuan APT menjaga keseimbangan kekuatan, memperkuat solidaritas internal, dan menghindari ketergantungan pada satu kekuatan besar.

Indonesia dan ASEAN memiliki tanggung jawab historis untuk menjadikan APT bukan sekadar simbol, tetapi motor utama integrasi regional yang tangguh dan mandiri.

 

 

 

(Penulis adalah mahasiswa Jurusan Hubungan International Universitas Cenderawasih Jayapura)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *