Home / Opini / Bom di ujung semenanjung: Korea Utara dan bayang-bayang perang nuklir

Bom di ujung semenanjung: Korea Utara dan bayang-bayang perang nuklir

Ilustrasi. (TIFAPOS/Dave Marcelino Kubiari)

Oleh : Dave Marcelino Kubiari

TIFAPOS.id Ambisi nuklir Korea Utara telah menjadi ancaman serius terhadap stabilitas kawasan Asia Timur dan keamanan global.

Sejak awal, negara ini menunjukkan konsistensi dalam mengembangkan program senjata nuklirnya, meskipun mendapat tekanan dan sanksi internasional.

Berdasarkan perkembangan ini, dapat ditegaskan bahwa program nuklir Korea
Utara tidak hanya bersifat defensif, tetapi juga merupakan instrumen strategis yang menantang tatanan keamanan internasional.

Korea Utara melakukan uji coba nuklir pertamanya pada tahun 2006, dan sejak itu terus mengembangkan teknologi senjatanya.

Menurut (Kompas, 2023), sepanjang tahun 2022 saja, Korea Utara meluncurkan lebih dari 90 rudal balistik.

Reaktor nuklir Yongbyon, yang menjadi
pusat program nuklir negara tersebut, dilaporkan kembali aktif berdasarkan pantauan IAEA (Antara News, 2021).

Aktivitas ini menunjukkan bahwa program pengayaan uranium dan produksi plutonium terus berlangsung secara intensif.

Di sisi lain, negara-negara seperti Korea
Selatan dan Jepang memperkuat kerja sama keamanan dengan Amerika Serikat sebagai respons atas ketegangan tersebut.

Fenomena ini menunjukkan bahwa senjata nuklir bukan lagi simbol pencegahan, tetapi telah digunakan sebagai alat tawar dalam hubungan internasional.

Strategi brinkmanship, yaitu membawa konflik mendekati titik krisis untuk mendapatkan keuntungan politik, sering dikaitkan dengan pendekatan Korea Utara dalam menghadapi tekanan internasional.

Ketegangan semacam ini berisiko tinggi menimbulkan konflik terbuka, terutama jika terjadi kesalahan kalkulasi di antara pihak-pihak yang terlibat.

Selain itu, perkembangan ini juga
berkontribusi pada meningkatnya dinamika perlombaan senjata di kawasan Asia Timur. Setiap peluncuran rudal bukan hanya uji coba militer, tetapi juga pesan politik.

Ketika diplomasi gagal dan tekanan internasional tidak konsisten, maka peluang penyelesaian damai pun semakin kecil.

Oleh karena itu, pendekatan parsial atau tidak terkoordinasi hanya akan memperkuat posisi Korea Utara dalam melanjutkan program nuklirnya.

Awalnya, program nuklir Korea Utara dianggap sebagai bentuk pertahanan terhadap ancaman
eksternal.

Namun, seiring waktu, fungsinya berkembang menjadi alat untuk memperkuat posisi strategis negara tersebut dalam percaturan politik global.

Fakta-fakta empiris menunjukkan
bahwa respons internasional terhadap isu ini masih terpecah dan kurang efektif.

Di sinilah pentingnya peran kolektif dari negara-negara kawasan, termasuk ASEAN, untuk membangun pendekatan multilateral yang lebih stabil dan terukur.

Stabilitas kawasan tidak akan tercapai selama senjata nuklir dijadikan alat tawar-menawar
politik.

Diperlukan pendekatan diplomatik yang konsisten dan dukungan internasional yang
solid untuk mendorong pelucutan senjata secara damai.

Komunitas internasional tidak boleh bersikap permisif terhadap pelanggaran serius ini, karena dampaknya akan merusak arsitektur
keamanan global yang telah dibangun sejak lama.

 

 

(Penulis adalah mahasiswa jurusan Hubungan International Universitas Cenderawasih Jayapura)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *